Setelah agama berada dalam ruang-ruang privat, kini simbol-simbol itu dihidupkan kembali di ruang publik. kemunculan simbol agama di ruang publik adalah sebuah pertanda lahirnya post-sekularisme. post sekularisme sendiri lahir dengan menguatnya simbol-sombol agama di masyarakat, Kasus di lampung, Sampang dan peraturan daerah dalam bentuk syariat sebagai penanda bahwa agama telah dibawa ke ranah publik.
hal ini bukan berarti bahwa konsep liberalisme yang menjunjung nilai-nilai kebebasan universal tidak luput dari kritik. dan terus mengalami dinamika. konsep liberalisme sebagai sasaran gugatan kaum komunitarian melihat ada distingsi yang tegas tentang pandangan tentang hidup baik, legalitas dan moralitas. tugas negara adalah sebagai penjamin dan pencipta hak-hak asasi manusia. negara memang sedang galau ketika berhadapan dengan simbol-simbol agama.
kembali ke post-sekularisme tadi, ada yang menarik seperti narasi dari Romo Otto Gusti, SVD di sebuah bedah buku PSI UII 06/02/2012. post sekularisme, dengan mengutip pemikiran Habermas demikian katanya, adalah negara hanya memediasi sejauh menyangkut kehidupan sosial bersama, seperti ungkapannya tentang masalah-masalah sosial; mengenai aborsi, korupsi, dan sebagainya. masalah-masalah seperti itu boleh saja diperdebatkan di ruang publik. sedangkan identitas dalam beragama dan doktrin komprehensif (dogma) itu tidak penting sepba tidak relevan seperti halnya pastor yang tidak boleh menikah, bunda Maria melahirkan Putra Allah dan tetap perawan tidak penting diperdebatkan oleh kalangan katolik dengan kalangan islam sebab itu tidak relevan dalam ruang publik. hal penting adalah perdebatan yang menyangkut masalah-masalah moral seperti aborsi, kemiskinan dan sebagainya itu boleh. dan setiap ajaran agama harus bisa menerjemahkan konsep-konsep yang komunal ke ruang publik.
persoalannya adalah, ruang publik seperti bahasa Bourdieu adalah medan-medan pertarungan kekuatan. dan biasanya yang mendominasi ruang publik adalah yang mayoritas dan pemilik modal. dan banyak contoh dimana dominasi dalam ruang publik itu muncul...sampai sekarang ini masih terjadi
kadang bernalar ber-agama seringkali berjarak dengan nalar ber-sosial. tapi inilah pentingnya martabat kemanusiaan sebagai bagian kehidupan kita. nilai-nilai beragama hidup sebagai bagian penting dalam ruang publik untuk mencapai rasa keadilan yang berkemanusiaan.
Sampai saat ini saya masih penasaran dengan post sekularisme, dan Romo Otto sering sekali menyebut Charles Taylor tentang Secular Aids dan Habermas yang Post Metafisical Thinking dan itu menjadi salah satu yang harus saya baca kelak...bertambah lagi pencerahan siang ini
UII-Demangan Yogyakarta
No comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung di halaman saya.