Matahari belum benar-benar terang tapi lelaki paruh baya itu sudah bersiap mengariungi muara dengan sampannya. Segala peralatan tankap sudah dipersiapkan dan perlahan ia pun mendayung, suara kecipak air satu dua tiga suara kemudian berlalu.
Sesampai di muara pantai kendari Beach tempatnya menggantungkan hidup. ia mengumpulkan jenis kerang-kerangan dan kepiting. Dengan jalan yang tak seimbang karena kaki kirinya cacat lahir, daeng—begitu slalu disapa—menjumput kerang-kerang satu persatu dimuara yang perlahan-lahar surut. selang beberapa saat kerangpun terkumpul beberapa keranjang. Diangkatnya di sampan dan melanjutkan dengan mencari kepiting yang memang menjadi buruan paling menguntungkan. Satu kepiting dengan berang setengah kilo dihargai puluhan ribu. Bandingkan dengan sekilo kerang yang hanya dihargai lima ribuan per kilo (untung jika laku). Daeng pun saban hari memasang perangkap kepiting, sejam kemudian dilihatnya lagi karena menangkap kepiting memakai kesabaran dan ketelatenan.
Setelah tangkapan didapat. Bergegas ia ke pasar kadang pasar baru di jalan wua-wua. Kali ini mendapat rejeki dengan beberapa kilo kerang dan beberapa ekor kepiting. Hasilnya membanggakan. Ditangannya lembaran uang biru dan merah. Itu berarti daeng mendapat rejeki berlipat-lipat.
Tapi apa lacur hasil kerja seharian harus dihabiskan dalam semalam juga. Ia menghabiskan jerih payahnya dengan minum Ballo (minuman tradisional yang telah difermentasi). Sesekali pula ia menghabiskan uangnya di tempat lokalisasi.
*
Saya tak pernah tahu sepenuhnya apa yang ada dibenak orang tua itu. saya kadang bergumam orang ini sudah miskin tapi tak tahu caranya untuk menyimpan atau paling tidak menyisihkan sedikit uang. Tapi dia tidak. ia mengandalkan alam seolah-olah alam tiap hari akan memberikan apa yang dia butuhkan. Saya jadi ingat pelajaran sejarah ketika perkembangan manusia diawali dengan masa meramu (food gathering). Satu contoh manusia di abad modern ini terlihat dari kasus daeng. Ia mengandalkan alam untuk memberinya makan.
Cara pikir tradisional masih jelas terlihat. Ada benarnya Tan Malaka dalam Madilog menulis bahwa manusia Indonesia sebenarnya masih dalam perkembangan atau paling tidak terjebak dalam Logika Mistika. cara pikir ini masih terjebak dalam pikir tradisional, mistik dan selalu melihat kebelakang. Dan banyak melanda orang-orang di Indonesia.
Apa yang dilakukan Daeng dengan mengikuti logika Tan Malaka sebenarnya terjebak dalam logika mistika. ia tak pernah memikirkan masa depan, hidupnya esok seperti apa dan bagaimana dengan nasib keluarga. yang ia pikirkan hanyanya kesenangan diri yang mengikuti nafsu konsumtif dengan barang-barang yang dilarang agama. Saya percaya Daeng beragama tapi tak meyakini.
Absurd
Saya ingin mengisahkan kembali Sisifus yang ditulis dramatis oleh nobeli Perancis Albert Camus. Dengan mendorong batu berkali kali ke puncak, setiap kali mencapai puncak para Dewa selalu menggulingnya ke bawah sampai kaki bukit. Sisifus pun harus mendorongnya kembali sampai begitu, entah sampai kapan.
Albert Camus berkata para buruh masa kini yang setiap hari harus mengerjakan tugas yang sama ternyata tidak kalah absurdnya. Termasuk Daeng. Orang masa kini yang bekerja dengan tidak kalah absurdnya. dalam kisa lain kisah Daeng bisa dapat kita temui.
Hidup sehari-hari bila disadari merupakan hal yang absurd. Dengan pekerjaan yang itu-itu saja menimbulkan pertanyaan mengapa tapi kadang tidak memiliki jawaban yang meyakinkan. Maka timbul keheranan disaat itu pula bangkit kesadaran.
Daeng memang tak mengerti arti absurd.
Yang absurd merupakan konfrontasi antara dunia yang irrasional dengan keinginan dahsyat yang terus menerus bergema dalam hati manusia, keinginan akan kejelasan. Begitu kata Camus.
Daeng paham atau memang tak mau paham ia mencari jawaban dalam hidupnya tentang mengapa uang jerih payah dikumpulkan dengan bersusah diri dihabiskan dalam beberapa saat saja itupun dengan minuman tradisional yang pengolahannya jauh dari bersih. ia ingin bahagia. Bahagia dengan hasil jerih payah dengan minum minuman keras tapi besoknya setelah terbangun atau tak lagi mabuk ditemukan dirinya tidak memiliki uang alias miskin lagi. Maka ia pun kembali beraktifitas seperti sedia kala—bangun pagi, mendayung sampan, menjumput kerang, menangkap kepiting. Begitu terus. Entah sampai kapan.
Yang dilakukan Daeng bukan tanpa arti. Bagi dirinya itulah kemerdekaan. Hidupnya harus berarti betapapun harus bekerja keras untuk mencapai ektase dengan minum sampai mabuk. Ia harus memuaskan dirinya.entah sampai kapan.
Kendari lewat tengah malam Februari 2013
No comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung di halaman saya.