Di ujung utara Konawe Sulawesi Tenggara kehadiran tambang nikel telah
merubah wajah daerah yang hijau itu. Kini yang terlihat hamparan bukit
yang terkelupas (land clearing), pohon-pohon tumbang digilas
alat berat, sungai tak lagi sebening kaca, dan kenaekaragaman hayati pun
terancam punah.
***
Siang itu alat berat
sejenis escavator terparkir rapi. Tak ada aktifitas penambangan nikel
setelah UU minerba Nomor 4 Tahun 2009 disahkan pemerintah Januari 2014.
UU itu mengharuskan setiap perusahaan tambang wajib memiliki pabrik
pengolahan mineral mentah (smelter) sebelum di ekspor. Otomatis
perusahaan pun menghentikan sementara aktifitas dan ‘merumahkan’
sementara karyawannya untuk mengurangi biaya operasional. Satu dari
sekian karyawan yang dirumahkan itu, Samir (22 tahun) pemuda asli Konawe
Utara. Pemuda itu beretnis Tolaki yang dikenal sebagai masyarakat lokal
Konawe. Bukan berita baik baginya yang hanya menggantungkan hidup
dengan bekerja di perusahaan tambang karena beberapa lahan milik
keluarga sudah dijual kepada pengusaha.
Menjadi rahasia umum
masyarakat Konawe Utara merelakan lahan miliknya dibeli oleh pengusaha
tambang karena tergiur dengan sejumlah uang yang menurut mereka sangat
besar. Terjadilah perubahan secara drastis dari masyarakat yang
mengandalkan hasil hutan dan kebun menjadi masyarakat yang
menggantungkan diri untuk bekerja di tambang.
Degradasi
lingkungan
Menurut catatan sejarah penambangan nikel
telah berlangsung lama sejak masuknya Belanda di Sulawesi Tenggara.
Setelah kemerdekaan untuk pertama kali perusahaan milik negara PT. Antam
mulai melakukan eksplorasi. Dan sampai hari ini tercatat sudah 540 izin
eksplorasi tambang di Sulawesi Tenggara yang dikelola perusahaan asal
China. Menurut Samir bahwa di awal tahun 2007 tercatat hanya 3 (tiga)
perusahaan tambang, kondisi inipun berubah hingga akhir tahun 2013 yang
sudah mencapai ratusan izin tambang yang dikeluarkan pemerintah daerah
untuk mengekplorasi nikel di Konawe Utara.
Aktifitas penambangan
ini kemudian mengakibatkan degradasi lingkungan di Konawe Utara. Ratusan
perusahaan tambang—pengusaha dari China, Korea dan Jepang—telah membuat
perubahan lingkungan di daerah itu. Perusakan hutan, pencemaran air
laut, jalan umum yang berlubang-lubang, polusi udara sampai hilangnya
mata pencaharian masyarakat sebagai akibat aktifitas penambangan.
“perusahaan langsung membuang limbah ke sungai atau ke laut jadi mau
tidak mau air berubah warnanya” beber Samir dengan logat khas suku
Tolaki.
Limbah secara langsung dibuang tanpa mengolah terlebih
dahulu. Akibatnya beberapa air sungai di Konawe utara berubah menjadi
kuning kecoklatan. Keanekaragaman khas pegunungan Konawe pun terancam.
Burung Maleo (macrocephalon maleo) sudah mulai berkurang.
Burung khas itu diambang kepunahan. Tumbuhan-tumbuhan khas dan bunga
hutan Konawe juga mengalami hal yang sama. Penambangan telah merenggut
kekhasan ekosistem hutan Konawe Utara.
Dari peristiwa ini penting
kiranya mengambil pelajaran bahwa pengolahan lingkungan sepatutnya
berdasarkan pada kearifan. Untuk itu ada beberapa hal yang menurut Samir
perlu menjadi perhatian tentang kondisi di Konawe Utara. Pertama. Perlu
adanya pembatasan ijin penambangan dari pemerintah pusat dan daerah.
Dan juga menindak perusahaan tambang yang tidak memiliki ijin dalam
operasi penambangan. Selama ini banyak perusahaan tambang di Konawe
Utara yang ilegal. Selama ini menurut Samir pemerindah daerah kurang
respon terhadap permasalahan perusahaan ilegal.
Kedua. Pentingnya
pengelolaan berbasis kearifan lokal. Pengolahan tambang nikel selayaknya
memperhatikan aspek kearifan sosial budaya dengan mempertahankan
nilai-nilai kelokalan masyarakat setempat seperti halnya hutan adat yang
dijaga kelestariannya. Samir menambahkan, dalam masyarakat Konawe Utara
masih ada kearifan menjaga dan memanfaatkan sumber daya hutan. Hal itu
penting menjadi perhatian dari pemerintah maupun korporasi.
Ketiga.
Perlu kiranya setiap perusahaan diwajibkan memiliki pengolahan limbah
dan Amdal untuk mengurangi dampak kerusakan lingkungan di Konawe Utara.
Ini penting mengingat kerusakan air di Konawe tergolong parah.
Keempat.
Pemanfaatan SCR perusahaan tidak saja semata-mata memberi bantuan dana
tetapi perlu penyediaan bibit/tanaman, pemberdayaan masyarakat dan
usaha-usaha penghijauan agar sumber daya alam dapat dimanfaatkan
masyarakat Konawe Utara secara lanjut.
Ke empat prasyarat ini
menurut pemuda itu penting diperhatikan untuk menjaga keberlangsungan
kehidupan dan ekosistem alam di Konawe Utara. Sudah saatnya korporasi
memperhatikan aspek lingkungan sebagai isu penting dalam pengelolaan
tambang. Untuk itu pesan bijak Mahatma Gandhi patut direnungkan bahwa
bumi sanggup memenuhi kebutuhan manusia tapi tidak sanggup memenuhi
keserakahan manusia. Keserakahan korporasi mengeruk sumber daya alam
telah membuat kerusakan lingkungan.
***
Petikan
cerita Samir sang pemuda itu adalah kisah keseharian masyarakat yang
berada di area tambang Konawe Utara. Masyarakat lokal adalah pihak yang
selalu dirugikan. Kisah Samir adalah kisah tentang ketidakberdayaan
menghadapi korporasi dan pemerintah. Penting kiranya pemangku
kepentingan bahu-membahu memberikan respon terhadap keberlangsungan
kehidupan mereka dan lingkungannya.
Di akhir cerita itu, sambil
menghela napasnya dalam-dalam Samir bertanya secara retoris kepada saya
“jadi tambang nikel ini untuk siapa?”. Saya tak bisa menjawabnya tapi
dalam hati saya bergumam coba tengok jawabnya di lagu Ebiet G Ade “coba
kita bertanya pada rumput yang bergoyang”.
------
tulisan ini sedang diikutkan lomba dan masuk nominasi "layak muat" semoga menang :)
No comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung di halaman saya.