Friday, April 4, 2014

Nikel Konawe Untuk Siapa?


Di ujung utara Konawe Sulawesi Tenggara kehadiran tambang nikel telah merubah wajah daerah yang hijau itu. Kini yang terlihat hamparan bukit yang terkelupas (land clearing), pohon-pohon tumbang digilas alat berat, sungai tak lagi sebening kaca, dan kenaekaragaman hayati pun terancam punah.

***
Siang itu alat berat sejenis escavator terparkir rapi. Tak ada aktifitas penambangan nikel setelah UU minerba Nomor 4 Tahun 2009 disahkan pemerintah Januari 2014. UU itu mengharuskan setiap perusahaan tambang wajib memiliki pabrik pengolahan mineral mentah (smelter) sebelum di ekspor. Otomatis perusahaan pun menghentikan sementara aktifitas dan ‘merumahkan’ sementara karyawannya untuk mengurangi biaya operasional. Satu dari sekian karyawan yang dirumahkan itu, Samir (22 tahun) pemuda asli Konawe Utara. Pemuda itu beretnis Tolaki yang dikenal sebagai masyarakat lokal Konawe. Bukan berita baik baginya yang hanya menggantungkan hidup dengan bekerja di perusahaan tambang karena beberapa lahan milik keluarga sudah dijual kepada pengusaha.
Menjadi rahasia umum masyarakat Konawe Utara merelakan lahan miliknya dibeli oleh pengusaha tambang karena tergiur dengan sejumlah uang yang menurut mereka sangat besar. Terjadilah perubahan secara drastis dari masyarakat yang mengandalkan hasil hutan dan kebun menjadi masyarakat yang menggantungkan diri untuk bekerja di tambang.

Degradasi lingkungan
Menurut catatan sejarah penambangan nikel telah berlangsung lama sejak masuknya Belanda di Sulawesi Tenggara. Setelah kemerdekaan untuk pertama kali perusahaan milik negara PT. Antam mulai melakukan eksplorasi. Dan sampai hari ini tercatat sudah 540 izin eksplorasi tambang di Sulawesi Tenggara yang dikelola perusahaan asal China. Menurut Samir bahwa di awal tahun 2007 tercatat hanya 3 (tiga) perusahaan tambang, kondisi inipun berubah hingga akhir tahun 2013 yang sudah mencapai ratusan izin tambang yang dikeluarkan pemerintah daerah untuk mengekplorasi nikel di Konawe Utara.
Aktifitas penambangan ini kemudian mengakibatkan degradasi lingkungan di Konawe Utara. Ratusan perusahaan tambang—pengusaha dari China, Korea dan Jepang—telah membuat perubahan lingkungan di daerah itu. Perusakan hutan, pencemaran air laut, jalan umum yang berlubang-lubang, polusi udara sampai hilangnya mata pencaharian masyarakat sebagai akibat aktifitas penambangan. “perusahaan langsung membuang limbah ke sungai atau ke laut jadi mau tidak mau air berubah warnanya” beber Samir dengan logat khas suku Tolaki.
Limbah secara langsung dibuang tanpa mengolah terlebih dahulu. Akibatnya beberapa air sungai di Konawe utara berubah menjadi kuning kecoklatan. Keanekaragaman khas pegunungan Konawe pun terancam. Burung Maleo (macrocephalon maleo) sudah mulai berkurang. Burung khas itu diambang kepunahan. Tumbuhan-tumbuhan khas dan bunga hutan Konawe juga mengalami hal yang sama. Penambangan telah merenggut kekhasan ekosistem hutan Konawe Utara.
Dari peristiwa ini penting kiranya mengambil pelajaran bahwa pengolahan lingkungan sepatutnya berdasarkan pada kearifan. Untuk itu ada beberapa hal yang menurut Samir perlu menjadi perhatian tentang kondisi di Konawe Utara. Pertama. Perlu adanya pembatasan ijin penambangan dari pemerintah pusat dan daerah. Dan juga menindak perusahaan tambang yang tidak memiliki ijin dalam operasi penambangan. Selama ini banyak perusahaan tambang di Konawe Utara yang ilegal. Selama ini menurut Samir pemerindah daerah kurang respon terhadap permasalahan perusahaan ilegal.
Kedua. Pentingnya pengelolaan berbasis kearifan lokal. Pengolahan tambang nikel selayaknya memperhatikan aspek kearifan sosial budaya dengan mempertahankan nilai-nilai kelokalan masyarakat setempat seperti halnya hutan adat yang dijaga kelestariannya. Samir menambahkan, dalam masyarakat Konawe Utara masih ada kearifan menjaga dan memanfaatkan sumber daya hutan. Hal itu penting menjadi perhatian dari pemerintah maupun korporasi.
Ketiga. Perlu kiranya setiap perusahaan diwajibkan memiliki pengolahan limbah dan Amdal untuk mengurangi dampak kerusakan lingkungan di Konawe Utara. Ini penting mengingat kerusakan air di Konawe tergolong parah.
Keempat. Pemanfaatan SCR perusahaan tidak saja semata-mata memberi bantuan dana tetapi perlu penyediaan bibit/tanaman, pemberdayaan masyarakat dan usaha-usaha penghijauan agar sumber daya alam dapat dimanfaatkan masyarakat Konawe Utara secara lanjut.
Ke empat prasyarat ini menurut pemuda itu penting diperhatikan untuk menjaga keberlangsungan kehidupan dan ekosistem alam di Konawe Utara. Sudah saatnya korporasi memperhatikan aspek lingkungan sebagai isu penting dalam pengelolaan tambang. Untuk itu pesan bijak Mahatma Gandhi patut direnungkan bahwa bumi sanggup memenuhi kebutuhan manusia tapi tidak sanggup memenuhi keserakahan manusia. Keserakahan korporasi mengeruk sumber daya alam telah membuat kerusakan lingkungan.

***
Petikan cerita Samir sang pemuda itu adalah kisah keseharian masyarakat yang berada di area tambang Konawe Utara. Masyarakat lokal adalah pihak yang selalu dirugikan. Kisah Samir adalah kisah tentang ketidakberdayaan menghadapi korporasi dan pemerintah. Penting kiranya pemangku kepentingan bahu-membahu memberikan respon terhadap keberlangsungan kehidupan mereka dan lingkungannya.
Di akhir cerita itu, sambil menghela napasnya dalam-dalam Samir bertanya secara retoris kepada saya “jadi tambang nikel ini untuk siapa?”. Saya tak bisa menjawabnya tapi dalam hati saya bergumam coba tengok jawabnya di lagu Ebiet G Ade “coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang”.

------
tulisan ini sedang diikutkan lomba dan masuk nominasi "layak muat" semoga menang :)

No comments:

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung di halaman saya.

< > Home
emerge © , All Rights Reserved. BLOG DESIGN BY Sadaf F K.