![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjrMuDGFLabIsGi1S3Zu6WUsRnUNaodrI7SwVfjp6asMU2vN7zsEZ_EZ-5CxjEZ_uJ8VDxoOzU5uIOKp0emx4u8MaytHTlLaUNyQILhef6E8lZg4peB2aA4iy1lpX8FZ7534JG4AEimf9w/s400/roti.jpg)
Terompet kecil itu selalu memeka telinga ketika matahari menyambut pagi. di depan kost selalu menunggu dengan sabar. Bunyi terompet itu lebih mirip dengan penjual es tape atau kokekokek di kampung saya dulu. suaranya khas.
setiap pagi, bunyi dan aroma khas selalu menyeruak di depan pintu : campuran pagi, matahari dan roti yang kecoklatan itu.
"Roti mas, ni masi anget" ucapnya ramah.
Penjaja roti yang satu ini-saya sebut langganan yang tidak saling kenal nama-selau datang menyinggahi kost di kala pagi. waktu berkunjungnya pukul enam pagi kadang lewat kadang juga saat matahari belum benar-benar terbit. ia menjajakan rotinya dari rumah ke rumah dengan sepeda kumbang (onthel), dibelakangnya berisi kotak yang terbuat dari seng berisi aneka macam rasa, disisi kiri tertancap terompet yang selalu memeka telinga. Saya lebih suka memesan rasa coklat dari pada kelapa atau pisang dengan sedikit taburan meises diatas. Tiga rasa ini yang disajikan. mungkin ia tidak memakai tepung gandum pilihan (seperti bakery modern), ragi yang dicampur juga yang tergolong tradisional, seperti ragi yang biasa dipakai ibu saya membuat kue bakpaw-saya lupa merek ragi 'tempo doeloe itu.
ini berbeda dengan roti dari bakery modern yang menawarkan aneka macam rasa. penjaja keliling ini hanya mengandalkan rasa monoton di tenggorokan. tapi ada kenikmatan yang ditawarkan.
harga menjadi kelebihan dari roti buatan tangan ini, setiap buah dihargai lima ratu perak, saya tidak tahu kenapa roti yang lumayan enak ini harganya begitu murah. dua ribu perak sudah bisa membuat perut kenyang. ia mungkin tahu selera mahasiswa.
menikmati roti hademade seperti ini saya teringat selalu kumpulan cerita dan prosa Madre milik Dee. tentu roti dari Tansen, artisan dalam cerita itu tidak seenak buatan mas yang langganan saya. tapi saya percaya, yang saya makan ini adalah buatan dari semangat dan kerja keras penjaja bakery tradisional. Saya sadar yang saya beli ini adalah sejarah. banyak dijual kultur roti yang lebih tua dari Madre, tapi mereka nggak punya cerita, Tan de Bakker adalah legenda.
Penjual roti langganan saya ini ibarat menjual sejarah seperti kisah Madre. Kisah dan perjuangan mencari nafkah. hal itulah yang membuat hasil buatan tangannya selalu dinanti (selain juga harga kelas bawah). ia seolah menjadi artisan yang dikisahkan dalam Madre itu. seperti Tansen yang mengolah roti dengan rasa.
saya teringat juga ketika masa-masa dulu di kendari, keluarga saya selalu menyempatkan membeli roti ketika tanggal baru. Saya masih ingat tempatnya, holland bakery, ada satu lagi namun lupa, tempatnya di pusat kota Kendari. tapi itu termasuk bakery 'modern'.
Suatu nanti saya akan mencicipi roti yang dikisahkan dalam Madre itu. simaklah Dee menulis :
...dapur kami pagi ini memproduksi roti tawar putih, roti gandum utuh, roti kibbled yang merupakan gabungan dari bermacam-macam biji-bijian, roti rye yang menggunakan rye yang kaya serat, focaccia yang bertaburkan dedaunan rempah, ciabatta alias roti "sendal" khas Italia, pita alias roti pipih khas India, baguette si roti panjang yang renyah, roti buah yang dipadati kismis dan aneka berry kering, roti jagung yang dibuat dengan cornmeal nan gurih, roti ricotta yang berkeju bermentega, dan simolina yang berselimut wijen.
Roti tidak harus menjadi makanan utama atau favorit saya, namun selalu ada cerita yang saya kenang ketika pagi. roti langganan saya itu selalu memberi cerita.
*ilustrasi diunduh dari google.com
Remah-remah pagi, jogja 271111
Madreee! Yeay.... kumpulan cerita dr dee yg lagi-lagi sangat luar biasa.
ReplyDeletePasti kak patta penikmat roti sejati sampe2 dibuatkan tulisan khusus di blog. hehehe :)
btul skali syam..tapi roti2 kampung, seperti roti maros sebagai contoh :). sy nda tau kenapa roti maros tak terdengar lagi padahal dulu jadi primadona, atau karena disaingi dange di pangkep atau roti boy? entahlah...
ReplyDeletetapi itu emang terlihat seperti bakery modern kang.. ;) jadi pingin ;(
ReplyDeletegt ya a'? tapi membaca Madre, the tan bakery..jd jadi ingin menjadi penjual roti... :)
ReplyDeletebakery modern memang menawarkan banyak cita rasa a'...di Bandung apalagi, enak2 pasti rotinya...
salam hangat
hmmmm...,roti memang slalu mnjadi santapan nikmat kala pagi atau senggang. tp sepertinya sy kurang sepakat dengan pendapatnya kalo roti maros nda terdengar lagi. di daerahku ada kok, dan kadang jd oleh-oleh buat teman2 yg tdk punya roti semacam ini...
ReplyDeletesalam hangat...^^
anonim : oh gt? ini subjektif sifatnya...tp daerahnya mbak/mas (maros) jarang menjadi oleh2 lagi. skarang keluarga slalu bawa roti dari bakery modern...tak lagi bawa roti maros.
ReplyDeletesalam hangat
Roti Handmade slalu memberikan cita rasa yg berbeda dg cita rasa Bakery modern..tak hanya Roti, penganan tradisional lain pun bgitu...slalu menggugah selera...,tentang Roti Marosnya., masih adaji ta klo dikndari...,sy kadang beli klo pagi, pas ngantor ke Ranomeeto..hehehe
ReplyDeletemasa kak? skali2 kalo ke kendari beli roma (roti maros)...kak kita tau bakery di mandonga? sy lupa namanya..toko roti lama di kendari kayakny di mandonga kalo tidak salah...:)
ReplyDeleteiya, masih ada dkat bundaran lepo2 :)
ReplyDeletesetau sy yang lama di mandonga itu cuma toko Roti Aden..,tp kurang tau jg klo ada yg lain...,penasaran..?? mari kt kesana mencarinya..:D
keliatannya rotinya enak ya..
ReplyDelete