Berbagai masalah yang mendera bangsa akhir-akhir ini diperlukan sosok yang mampu memberikan sumbangsih pemikiran. Sosok itu kira-kira bisa disematkan pada kaum intelektual. Sungguh banyak kaum intelektual bangsa ini, namun sangat sedikit peran dalam memecahkan masalah. Intelektual hari ini sebagian besar sibuk dibalik meja tanpa mau terlibat dalam menyelesaikan persoalan bangsa. Sangat sedikit yang empati terhadap permasalahan rakyat kecil, dan miskin.
Siapa Intelektual ?
Siapa kaum intelektual itu ?. terang pemikiran Antonio Gramsci nampaknya dapat dipinjam, semua orang memiliki potensi menjadi intelektual tetapi tidak semua memiliki fungsi di dalam masyarakat. Dalam bukunya Selection from The Prison Notebooks (1971), Gramsci membagi beberapa distingsi intelektual menjadi diantaranya, intelektual tradisional, intelektual organik dan kritis.
sederhana untuk bilang bahwa intelektual tidak hanya duduk di bangku kuliah atau bergelar sarjana, master hingga profesor. Namun bagemana setiap orang membangun khayalan-khayalan tentang intelektual itu dalam mewarnai realitas sosialnya. diskursus yang panjang antara intelektual dan bukan intelektual bisa dilihat dari salah satu tulisan, diantaranya Daniel Dhakidae. Tanpa membedakan istilah “intelektual”, “cendikiawan” dan “intelegensia” (istilah ini biasa saling menggantikan), seperti Dhakidae yang lebih memilih menggunakan istilah “cendikiawan”. Bukunya tentang cendikiawan dan kekuasaan (2003) mewakili distingsi antara antara cendikawan dan bukan cendikiawan, karena sifatnya yang cair, maka term itu seperti menggoreskan garis di atas air sungai yang mengalir. Siapa pun yang pernah duduk di bangku sekolah dengan sendirinya menghidupkan khayalan tentang dirinya sebagai bagian dari kaum cerdikiawan/intelektual.
Semua orang bisa mendaku tentang khalan-kyalan intelek dan cendekia. Orang orang ditapal batas ini memang berada dalam dilema. Dsatu kaki menghamba pada kekuasaan dan disisi lain empati pada kondisi realitasnya. Orang-orang ini ibaratnya tidak hanya asal hidup namun menciptakan lingkungan yang teratur dan nyaman. Ambiguitas peran-peran uintelektual menjadi persoalan tersendiri dalam memahami dirinya. Satu sisi dekat dengan kekuasaan tapi disisi lain ingin mendekat dan merasakan realitas dalam masyarakat.
Intelektual yang jika digolongkan dalam struktur masyarakat, maka dia bisa masuk dalam kelas menengah. Yang mencengangkan adalah kondisi kelas menengah sedang letih lesuh dalam menghadapi realitas sosial. Padahal kelas menengah adalah segolongan yang diharapkan dapat melakukan perubahan sosial (transformasi). Beberapa hal bisa saja kelas menengah (Baca : Intelektual) kemudian mengambil jarak, Pertama, kelas menengah sudah merasa mapan sehingga untuk mengurusi yang lain tidak mungkin lagi.
Kedua, kelas menengah dibelenggu oleh sistem. Belenggu ini bisa bersifat ideologis, bisa bersifat stuktural. kondisi intelektual berada dalam posisi dilematis, mencerminkan adanya kesibukan diruang-ruang kuliah dan labopratorium, yang akhirnya melahirkan intelektual “menara gading”. Tak heran jika Plato yang mencita-citakan negara ideal jika di pimpin oleh yang berbakat dan berpendidikan.
kita memang mengharap peran intelektual...
Siapa Intelektual ?
Siapa kaum intelektual itu ?. terang pemikiran Antonio Gramsci nampaknya dapat dipinjam, semua orang memiliki potensi menjadi intelektual tetapi tidak semua memiliki fungsi di dalam masyarakat. Dalam bukunya Selection from The Prison Notebooks (1971), Gramsci membagi beberapa distingsi intelektual menjadi diantaranya, intelektual tradisional, intelektual organik dan kritis.
sederhana untuk bilang bahwa intelektual tidak hanya duduk di bangku kuliah atau bergelar sarjana, master hingga profesor. Namun bagemana setiap orang membangun khayalan-khayalan tentang intelektual itu dalam mewarnai realitas sosialnya. diskursus yang panjang antara intelektual dan bukan intelektual bisa dilihat dari salah satu tulisan, diantaranya Daniel Dhakidae. Tanpa membedakan istilah “intelektual”, “cendikiawan” dan “intelegensia” (istilah ini biasa saling menggantikan), seperti Dhakidae yang lebih memilih menggunakan istilah “cendikiawan”. Bukunya tentang cendikiawan dan kekuasaan (2003) mewakili distingsi antara antara cendikawan dan bukan cendikiawan, karena sifatnya yang cair, maka term itu seperti menggoreskan garis di atas air sungai yang mengalir. Siapa pun yang pernah duduk di bangku sekolah dengan sendirinya menghidupkan khayalan tentang dirinya sebagai bagian dari kaum cerdikiawan/intelektual.
Semua orang bisa mendaku tentang khalan-kyalan intelek dan cendekia. Orang orang ditapal batas ini memang berada dalam dilema. Dsatu kaki menghamba pada kekuasaan dan disisi lain empati pada kondisi realitasnya. Orang-orang ini ibaratnya tidak hanya asal hidup namun menciptakan lingkungan yang teratur dan nyaman. Ambiguitas peran-peran uintelektual menjadi persoalan tersendiri dalam memahami dirinya. Satu sisi dekat dengan kekuasaan tapi disisi lain ingin mendekat dan merasakan realitas dalam masyarakat.
Intelektual yang jika digolongkan dalam struktur masyarakat, maka dia bisa masuk dalam kelas menengah. Yang mencengangkan adalah kondisi kelas menengah sedang letih lesuh dalam menghadapi realitas sosial. Padahal kelas menengah adalah segolongan yang diharapkan dapat melakukan perubahan sosial (transformasi). Beberapa hal bisa saja kelas menengah (Baca : Intelektual) kemudian mengambil jarak, Pertama, kelas menengah sudah merasa mapan sehingga untuk mengurusi yang lain tidak mungkin lagi.
Kedua, kelas menengah dibelenggu oleh sistem. Belenggu ini bisa bersifat ideologis, bisa bersifat stuktural. kondisi intelektual berada dalam posisi dilematis, mencerminkan adanya kesibukan diruang-ruang kuliah dan labopratorium, yang akhirnya melahirkan intelektual “menara gading”. Tak heran jika Plato yang mencita-citakan negara ideal jika di pimpin oleh yang berbakat dan berpendidikan.
kita memang mengharap peran intelektual...
No comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung di halaman saya.