Dengan alasan romantisme dan pengalaman sosial orang pulang ke rumah. Tapi tidak hanya itu, manusia memang pantas disebut sebagai homo viator, mahluk pejalan. Mahluk yang memang lebih menghabiskan waktu hidupnya dengan berjalan. Sejak dari bentuk pertama manusia purba hingga berwujud manusia modern berjalan tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia, tentu saja homo viator itu bisa dimasukkan dalam kategori pulang.
Syahdan, sore begitu hangat. Kota kecil itu terlihat masih adem ayem, perubahan kecil nampak di beberapa sisi. Tapi dari segi keindahan dan kebersahajaan untuk sebuah kota kecil masih jauh dari harapan. Tapi kedatangan saya merayakan kerinduan dengan pulang menemui keluarga dengan rasa bahagia. Tidak pada tempatnya berkeluh kesah.
Namun, ada sejumput cerita ketika pulang kampung. Setiba di bandara, cerita pertama yang tersuguh tentang pembunuhan sadis yang menelan 3 nyawa, keluarga China pemilik salah satu toko elektronik di kendari. Ibarat berita di tv, berita pembunuhan itu menjadi topik headline. Semakin menambah miris tentang cerita kota kecil ini. Cerita lanjutan ketika sampai di rumah, topik juga masih seputar China, kemudian beralih tentang kabar kedatangan saya, kuliah dan kehidupan di Jogja, hingga seputar perjodohan. Interogasi tanpa jeda. Sambung menyambung (walau dipaksakan nyambung).
Tapi itulah cerita, ketika seseorang yang jauh dan lama kembali harus bersiap slalu dirindukan. Ya, saya anggap, saya dirindukan denga keluarga. Tapi jujur, pulang adalah hal yang saya hindari, mengapa? Karena saya belum siap dengan semua jawaban. Apalagi jawaban tentang pertanyaan mengapa sekolah terus?, trus nikahnya kapan? Dijodohkan juga gak mau, trus maumu sama sapa? Saya tidak mau memberi jawaban selugas itu. menohok dan langsung ke inti.
Pulang, untuk sebagian yang lain, apalagi suasana lebaran adalah moment yang dinanti-nanti. Pulang tempatnya melepas rindu, tempatnya mencurahkan segala pengalaman dan kenangan hidup di rantau. Tidak berlebihan orang menghabiskan waktu, pikiran dan tenaga menunggu pulang (baca mudik). Pulang saat lebaran terasa beda dengan pulang yang lain. Dan saya menjadi salah satu contoh nyata itu. Aku pulang, rindukan aku....
Syahdan, sore begitu hangat. Kota kecil itu terlihat masih adem ayem, perubahan kecil nampak di beberapa sisi. Tapi dari segi keindahan dan kebersahajaan untuk sebuah kota kecil masih jauh dari harapan. Tapi kedatangan saya merayakan kerinduan dengan pulang menemui keluarga dengan rasa bahagia. Tidak pada tempatnya berkeluh kesah.
Namun, ada sejumput cerita ketika pulang kampung. Setiba di bandara, cerita pertama yang tersuguh tentang pembunuhan sadis yang menelan 3 nyawa, keluarga China pemilik salah satu toko elektronik di kendari. Ibarat berita di tv, berita pembunuhan itu menjadi topik headline. Semakin menambah miris tentang cerita kota kecil ini. Cerita lanjutan ketika sampai di rumah, topik juga masih seputar China, kemudian beralih tentang kabar kedatangan saya, kuliah dan kehidupan di Jogja, hingga seputar perjodohan. Interogasi tanpa jeda. Sambung menyambung (walau dipaksakan nyambung).
Tapi itulah cerita, ketika seseorang yang jauh dan lama kembali harus bersiap slalu dirindukan. Ya, saya anggap, saya dirindukan denga keluarga. Tapi jujur, pulang adalah hal yang saya hindari, mengapa? Karena saya belum siap dengan semua jawaban. Apalagi jawaban tentang pertanyaan mengapa sekolah terus?, trus nikahnya kapan? Dijodohkan juga gak mau, trus maumu sama sapa? Saya tidak mau memberi jawaban selugas itu. menohok dan langsung ke inti.
Pulang, untuk sebagian yang lain, apalagi suasana lebaran adalah moment yang dinanti-nanti. Pulang tempatnya melepas rindu, tempatnya mencurahkan segala pengalaman dan kenangan hidup di rantau. Tidak berlebihan orang menghabiskan waktu, pikiran dan tenaga menunggu pulang (baca mudik). Pulang saat lebaran terasa beda dengan pulang yang lain. Dan saya menjadi salah satu contoh nyata itu. Aku pulang, rindukan aku....
Kendari, 270811
No comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung di halaman saya.