Kubiarkan cahaya bintang memilikimu
Kubiarkan angin yang pucat dan tak habis-habisnya
Gelisah, tiba-tiba menjelma isyarat, merebutmu …
Entah kapan kau bisa kutangkap
--Nokturno, Sapardi Djoko Damono
***
waktu memang tak pernah jemu menyulam malam. desir angin mengibas-ngibas tirai yang kusam. angin kini membawa aroma flora dari pucuk hutan cemara menyusur dari kaki merapi, sesaat itu pula menilisik masuk dalam ruang kosongmu.
Saat itu mengalun musikalisasi puisi Sapardi Djoko Damono (SDD) saya memilihkanmu Nokturno. saya menyukai musikalisasi itu, tak peduli kau meminta yang lain. padahal ada yang tak kalah kontemplatif sekaligus romantis (pilihanmu hanya dua) : aku Ingin dan hujan bulan juni bukan?
Tepekur dan takzim. lamat-lamat puisi liris itu mengisi ruang tiga kali tiga dan ruang kosong dalam batinmu tak terkecuali diriku.
Nokturno saya dekatkan dengan sepimu. adakah yang lebih bisa mendekati arti selain malam? puisi Sapardi memang selalu mendekatkan dalam ruang yang transenden, sesuatu yang jauh. itu seperti lagu See New Project-Voices of Sadness atau prosa Dee di album Rectoverso, grew a day older. ia mendekatkanmu pada tetirah. lullaby. sesaat lepas dalam ruang sepimu. jika kau mencoba bertanya seperti apa sepiku? dengarlah Nokturno.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung di halaman saya.