Monday, December 25, 2017

Perjalanan Saya Ke Wakatobi

Tepat di sore hari kami–Saya, Pak Marjani, Mumin, Arif, Edy–sebagai tim peneliti pulau-pulau kecil tiba di sebuah kepulauan yang tidak pernah dikenal hingga ke mancanegara sebelumnya. Setidaknya beberapa decade lalu.

Pulau yang saya maksud itu adalah Wakatobi, pulau yang namanya disingkat dari empat gugusan pulau besar Wangiwangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko. Dulu dikenal sebagai kepulauan Tukang Besi. Pasca otonomi, penyebutan Wakatobi lebih suka dilafalkan daripada menyebut pulau Tukang Besi.

Melalui pesawat jenis ATR, saya dan rombongan tiba di bandara Matohora yang berada di Pulau Wangi-wangi yang ber-ibukota-kan Wanci.

Kami tidak lama menunggu di Bandara, beberapa jepret foto bersama dengan latar plang nama ‘Bandara Matahora Wakatobi’ sudah cukup untuk dijadikan kenang-kenangan. Jemputan berjenis mini bus keluaran Toyota pun tiba menyambut kami dengan hangat. Mobil berjalan lambat meninggalkan bandara, jalan mulus beraspal, padang savana nampak kanan kiri jalan adalah teman perjalanan selama menuju ke pengingapan. “Rumputnya baru saja tumbuh, biasanya kering menguning” kata supir yang membawa kami ke penginapan.

Di pulau Wakatobi, kontur tanah pada umumnya adalah hamparan pantai berpasir putih, bukit kapur, savana dan tumbuha khas pantai: cemara dan kelapa. Di bagian ibu kota kabupaten, infrastruktur sudah sangat memadai untuk mendukung sektor pariwisata. Bukan rahasia, pulau ini terkenal dengan wisata bawah air maka pembangunan jalan dan bandara adalah prioritas.

Tak cukup 20 menit, tumpangan kami tiba di sebuah hotel kelas melati, Yusdin, ketua tim lapangan menyambut dengan ramah. Dia sebenarnya termasuk tim kami yang ditugaskan untuk memandu selama di Wakatobi. Nampaknya dia cepat membaur dengan masyarakat Wakatobi. Dia sudah seperti orang lokal Wakatobi.

Kami tidak perlu pusing-pusing mengurus akomodasi, Yusdin sudah mengatur semua kebutuhan tim di lapangan: makan, penginapan dan juga entertain.

*
Tak ada kata istirahat apalagi entertain di hari pertama dan ke dua sebab deadline presentasi dan laporan musti dirapikan sebelum seminar akhir. Ada yang sanggup berjam-jam di depan laptop mengetik laporan sedangkan saya mengetik diselingi dengan tidur beberapa menit. Berlama-lama di depan laptop membuat mata saya lelah.

Menit berganti jam, pagi berganti siang, waktu seminar hasil atau hari H presentasi sudah di depan mata. Saya sebagai bagian tim, tidak memiliki persiapan selain nekad. Untungnya, anggota tim peneliti, pak Marjani dengan senang hati bersedia membawakan presentasi. Dan amanlah saya.

Selang satu jam kami melewati presentasi dengan lancar. Tak ada sanggahan hanya beberapa poin rekomendasi dan perbaikan hasil penelitian. Saya hampir ‘pura-pura gila’ jika ada pertanyaan mengarah ke saya. Saya bukan orang Wakatobi, dan baru kali pertama datang dan tiba-tiba disuruh bercerita pengalaman selama kunjungan penelitian? saya tak sanggup. Untung, Allah maha baik, tak ada pertanyaan untuk saya, kalaupun ada saya sudah siapkan strategi untuk mengalihkan ke Pak Marjani, anggota tim peneliti kami. Dan semua aman. sekali lagi, kecemasan itu tak terjadi.

Waktu dinanti-nanti pun tiba. saatnya merayakan. Tim peneliti termasuk tim lapangan, Yusdin ketawa lepas. Ada raut bahagia di wajahnya, Yusdin tak bisa menyembunyikan rasa senang-nya seminar akhir penelitian yang dikomandoinya usai. Tinggal laporan dan entertain. ah, lupa, juga argo peneliti hehehe.
**
Tidak banyak tempat yang bisa saya kunjungi selama di wangi-wangi, saya tidak menyebut Wakatobi karena hanya berkunjung ke satu pulau saja. Salah satu staf ASN di Wanci berkata pada saya ‘jangan mendaku berkunjung ke Wakatobi kalo cuma berkeliling di Wanci’ saya membalasnya dengan senyum. Tanda tidak terima sepenuhnya atas pernyatannya.

Saya sudah menikmati Wanci toh juga menikmati Wakatobi tanpa harus berkunjung ke Kaledupa, Tomia dan Binongko (suatu saat semoga ketiga pulau itu terlalui).

Saya bermaksud membeli oleh-oleh untuk teman-teman namun keterbatasan informasi, pusat jajanan-juga dana maka dokumentasi mungkin bisa mewakilinya. Silahkan dinikmati ala kadarnya.


Parende, makanan berkuah kuning khas daerah kepualuan di Sulawesi Tenggara

Kami dan DM (kedua dari kanan)

No comments:

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung di halaman saya.

< > Home
emerge © , All Rights Reserved. BLOG DESIGN BY Sadaf F K.