Ilustrasi (pixabay.com) |
Suatu saat saya--mungkin juga sebagian yang lain--akan mengalami bosan. Bukan apa-apa, rutinitas yang itu-itu saja membuat ritme hidup seperti berhenti berjalan. Orang kantoran bekerja hanya di belakang meja, orang kampus atau civitas akademika berkutat dalam ruang kelas dan urusan akademik, para pengusaha menjalankan usaha tidak lagi memikirkan ekspansi atau mencoba bisnis baru. Orang yang duduk di pemerintahan berfikir bagaimana mempertahankan kekuasaan. Tak ada warna baru dalam hidup.
*
Sejak beberapa tahun ini saya dan mungkin juga orang lain mengejar sesuatu yang itu-itu saja. Saya misalnya, hanya mengejar karir akademik. dari dulu sekolah dari SD (karena tidak sempat TK) hingga mencapai gelar master. Dan anehnya masih mau mengejar sampai ke level Doktor. Anehnya lagi tidak bosan-bosan.
Ketika kesempatan datang mendapat Beasiswa BUDI LN Batch 1 tahun 2016. Saya hampir sekolah ke Australia tahun 2017 namun malang tak dapat ditolak, IELTS saya tidak diterima di Kampus UWA. Dan tahun 2018 ini masih terus mencoba meraih beasiswa 2018 dan itu masih di luar negeri. Ini membosankan buat saya karena mengejar yang itu-itu saja, tidak mencoba hal baru (menjadi pengusaha misalnya)
Demikianlah, saya mencoba melawan rasa bosan.
Mencoba mencari tantangatan baru di luar aktifitas sehari-hari: mengajar.
*
Terjebak dalam "zona nyaman" bisa saja membuat Saya tidak mencoba hal baru, tantangan baru dan warna baru. Daya tarik ketika sudah asyik masyuk dalam rutinitas harian akan melupakan hal-hal di luar sana. Orang menyebutnya lingkaran setan (apa istilah itu cocok?).
Saya pernah membaca artikel Roby Muhammad, pakar sociotechno Indonesia. Roby--demikian biasa saya baca namanya di media--mengembangkan perilaku sosial manusia dalam dunia internet-mengemukakan di era sekarang dimana ranjau-ranjau tertanam dalam hidup, lubang-lubang terselubung berada namun di dalamnya ada jembatan peluang berada.
Saya memaknainya, bahwa hidup di era digital berada dalam persaingan hidup yang ketat. Untuk menang dalam kompetisi itu, Roby Muhammad mengingatkan SPESIALISASI. Seseorang yang survive adalah orang yang memiliki skill dan pada akhirnya melahirkan INOVASI.
Roby mencontohkan dirinya yang mendalami Ilmu Matematika S1 dan 'bermain-main' dengan ilmu Sosiologi pada level PhD di Amerika. Namun dari situ spesialisasinya terbentuk. Menguasai Matematika (eksperimen) sekaligus paham tentang ilmu masyarakat. Jadinya, Roby paham dengan interaksi manusia lewat internet melalui rangkaian eksperimen yang kemudian memperkokoh teori The Six Degrees of Separation.
Untuk melawan rasa bosannya, Roby tidak hanya berkutat dalam mengajar dan sibuk di laboratorium namun aktif dalam kerja-kerja sosial, menjadi aktor, dan pengusaha digital. Dia menjadi orang KREATIF dan INOVATIF.
Di era revolusi 4.0 ini orang dituntut untuk multi talent, multi tasking, membangun jejaring luas dan membebaskan diri dari sekat-sekat arogansi. Tipe orang seperti ini yang akan survive di era digital?
Kembali ke rasa bosan, ini seperti lonceng pengingat bahwa di era digital, kita dituntut untuk awas terhadap perubahan dan cermat dalam bertindak. Membaca sambil menempuh strategi bertahan hidup dalam setiap arah perubahan penting dilakukan di era disrupsi ini. Itulah yang dicoba oleh anak-anak muda inovatif Indonesia, sebut saja Nadiem Makariem yang membangun Gojek, Ahmad Zacky mengembangkan Bukalapak, William Tanuwijaya menggawangi Tokopedia dan lain-lain.
Orang-orang kreatif inilah yang jeli melihat perubahan di era digital. "Ini amajing" kata anak zaman sekarang.
Akhirnya, hidup di era digital memaksa kita bergerak cepat dan tanggap perubahan.
Cara tepat mengusir kebosanan adalah dengan ber-INOVASI dengan hal-hal baru. Cara itulah mengusir kebosanan.
Cara tepat mengusir kebosanan adalah dengan ber-INOVASI dengan hal-hal baru. Cara itulah mengusir kebosanan.
Dan saya sedang mencobanya...
No comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung di halaman saya.