![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjEENeAM2ZE2Q8zfAmiUs6qGH8XwOMOKLU5gBTj5dXYE12flSLIuWgFoAQGsX-mgGesfOO-5x10uhXnIh-WjBTcIKVQuFLCencNLFyIwa1yDoFtFZetoUpgDuxEXrxs6I1m9vyHYTe5nhg/s320/chairil_anwar_by_100persenambigu.jpg)
Tulisan dalam mural dibawah jembatan stasiun Tugu itu masih segar dalam ingatan, bergambar sastrawan besar angkatan 45-an. Bertuliskan (kira-kira) seperti ini “mampus kau di makan zaman”. Saya menganggap mural itu bukan sebagai hujatan pada sang penyair besar itu, justru sebaliknya, tulisan itu bisa jadi menggugah pembacanya atau mengenang diri dan puisinya.
Saya kira, tidak sendiri menjadi penikmat dan pembaca puisinya. Puisinya yang sering dikutip-kutip itu harus mati muda, meninggal di usia 26 tahun, sama halnya Soe Hok Gie yang mati muda (kebahagiaan yang mati muda). Padahal kita tahu, dalam puisinya AKU, ia ingin hidup seribu tahun tahun lagi. Jasadnya boleh “mampus” bersama tanah, tapi semangat dan puisinya adalah abadi.
Pahlawan. Saya menyebutnya pahlawan, karena tidak semua pahlawan harus mengangkat bedil dan bambu runcing. Ia melawan dengan kata-kata. Melawan penjajah dengan kata-kata bukanlah hal mudah. Tapi Chairil lain, ia mewacana dalam bentuk kata-kata dan akhirnya membangun kesadaran untuk merdeka. Seperti puisinya : Kerawang-Bekasi,
Mengenangnya menjadi isyarat. Sejarah tak bisa kita lupakan kata Soekarno. Mural itu mencoba mengingatkan dengan kata-kata menghujam. Semiotika sebagai kajian relasi tanda memberi isyarat kehadiran mural dibawah jembatan stasiun tugu itu, menandai dan menggantikan kehadiran sosok penyair besar itu. setiap tanda memiliki karakteristik, begitu juga tanda (mural) di bawah jembatan itu.
Zaman memberi suatu peralihan-peralihan pada puisi, semangat dan gambar sang penyair. Ketika sulit mendapatkan catatan hidup sang penyair lewat buku dan tanda-tanda lain, mural-lah yang menggantikan kehadirannya. Penyair besar itu, Chairil Anwar.
Derai Derai Cemara (Chairil Anwar - 1949)*
Jogja, 230511
Saya kira, tidak sendiri menjadi penikmat dan pembaca puisinya. Puisinya yang sering dikutip-kutip itu harus mati muda, meninggal di usia 26 tahun, sama halnya Soe Hok Gie yang mati muda (kebahagiaan yang mati muda). Padahal kita tahu, dalam puisinya AKU, ia ingin hidup seribu tahun tahun lagi. Jasadnya boleh “mampus” bersama tanah, tapi semangat dan puisinya adalah abadi.
Pahlawan. Saya menyebutnya pahlawan, karena tidak semua pahlawan harus mengangkat bedil dan bambu runcing. Ia melawan dengan kata-kata. Melawan penjajah dengan kata-kata bukanlah hal mudah. Tapi Chairil lain, ia mewacana dalam bentuk kata-kata dan akhirnya membangun kesadaran untuk merdeka. Seperti puisinya : Kerawang-Bekasi,
...Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi
Mengenangnya menjadi isyarat. Sejarah tak bisa kita lupakan kata Soekarno. Mural itu mencoba mengingatkan dengan kata-kata menghujam. Semiotika sebagai kajian relasi tanda memberi isyarat kehadiran mural dibawah jembatan stasiun tugu itu, menandai dan menggantikan kehadiran sosok penyair besar itu. setiap tanda memiliki karakteristik, begitu juga tanda (mural) di bawah jembatan itu.
Zaman memberi suatu peralihan-peralihan pada puisi, semangat dan gambar sang penyair. Ketika sulit mendapatkan catatan hidup sang penyair lewat buku dan tanda-tanda lain, mural-lah yang menggantikan kehadirannya. Penyair besar itu, Chairil Anwar.
Derai Derai Cemara (Chairil Anwar - 1949)*
cemara menderai sampai jauh*(diktutip, http://chairil-anwar.blogspot.com/)
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam
aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini
hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah
Jogja, 230511
No comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung di halaman saya.