![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiDtAPhiHoN-X_BdwSdPXhQSqxmtRJHL-elXwyFfhwxjKwuhLoQshnLDY85p24YtZ9p7M4hqxapGjT69Kx4cTizJkfVdJd4t-LTxDgu_xeJV_l6l7Ca1cPErCiPWDBztT7VORfs-dgydwk/s400/sore.jpg)
Eliade kecil terkejut dengan pendar cahaya menembus gorden hijau di kamar yang jarang dipakainya. Cahaya itu menembus celah-celah kaca, semburat zamrud emas, memesona, dan menggetarkan. Dengan terperanjat dan terpesona, Eliade kecil merasa dibawa dalam dunia yang trasenden dan berbeda. Pengalaman religius itu dilukiskan Eliade sebagai “nostalgia”. Nostalgia membuatnya larut dalam dunia magis.
Tentu Mircea Eliade, orang Rumania juga mistikus dan filsuf itu telah merindukan ruang kesempurnaan dari dunia yang lain. Yang mengantarnya kemudian ber-ziarah ke timur jauh-India, belajar yoga dari seorang guru spritual Surendranath Dasgupta. Disanalah dia menemukan pengalaman spritual yang tidak pernah dirasakan sebelumnya di kamar itu.
Kisah ini dilukiskan sempurna Daniel L. Pals dalam bukunya Seven Theories of Religion (1996). Buku itu tak hanya membahas kisah Eliade, tapi kisah E.B Taylor, Geertz hingga Marx tentang agama tak luput disigi. Tapi tak ayal membahasnya disini, karena bukan ruang yang cocok dalam ruang seperti ini.
Yang menarik dari kisah itu adalah Mircea Eliade yang merasakan nostalgia berjumpa dengan dunia yang baru. Ruang yang membuatnya larut dalam ekstase. Merasakan seperti ‘surga’ di dunia. Tapi benarkah dunia baru itu tempat 'nostalgia’ ?.
Agaknya kutipan Goenawan Mohammad bisa menjadi renungan,
“Kita tahu dunia tak akan jadi surga; hanya di surga kita bisa tahu apa yang akan kita capai. Tapi sebab itu kita tak bisa berhenti”. Tulis Goenawan Mohamad suatu ketika.Saya terbawa oleh nuansa panjang sore itu. sebuah waktu yang tenang, bersahabat dan matahari perlahan memudar menemui malam. Waktu-waktu peralihan dari sore ke malam membuat saya selalu merasa damai. Entah, tapi itulah yang saya rasakan. Saya menyebutnya ‘romansa’. Romansa sore itu yang tak bisa saya lupakan, dan saya rasakan itu selama di Yogya.
Terkadang saya terbawa dengan masa-masa kecil ; mengaji di surau dari sore hingga isya. Berlama-lama di surau/langgar membuat saya merasa damai. Tapi entah sekarang kebiasaan-kebiasaan kecil itu memudar. Waktu yang meluruhkan kebiasaan saya sholat, mengaji dan menghafal ayat-ayat pendek.
Romansa inipun selalu hadir ketika sore. Dan saya masih beruntung dapat mengingat romansa yang religius itu. mencoba dekat lagi dalam kesucian diri ketika kecil dulu. Kekanakan dan patuh pada ajaran agama tapi tak mencoba untuk bertanya mengapa mengaji. solat dan puasa pada orang tua ?. Mendekatkan diri pada surga yang jauh. Saya tahu karena Tuhan itu maha penyayang dan pengasih.
Spritual perlahan-lahan dibangkitkan. Melalui romansa yang lewat ketika sore. Peralihan. Saya mencoba dekat dengan Tuhan, walau dalam ketidak mengertian tentang wujudNya. Sekedar meyakininya : damai dan penuh ketakjuban.
Perjalanan spritual Aliade, menyusuri timur jauh-India membuat saya tahu bahwa ‘nostalgia’ didapat melalui ziarah. Dan sore itu seakan telah ber-ziarah spritual di tempat yang jauh yang disebut Eliade waktu yang sakral.
Sore yang sakral, Jogja 290511
No comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung di halaman saya.