Ramadhan tahun ini membawa berkah, terutama saya yang masih diberi kesempatan berjumpa ramadhan, bulan penuh mulia. Ada yang selalu saya perhatikan ketika ke mesjid kampus itu : jamaah. Saya kadang terheran-heran dengan jamaah yang begitu massif itu, dan kebanyakan anak muda yang cantik dan gagah-gagah. Perasaan yang selama ini, anak muda hanya larut dalam dunia semata, dunia hura-hura, tapi wajah-wajah hedonis tak nampak malam itu. paling tidak bila dikatakan itu sementara (saat ramadhan) tapi ini suatu renungan penting bagi saya.
Yang nampak dalam konteks keagamaan kontemporer bahwa, nilai-nilai religiositas masih nampak dimana arus hedonisme juga tinggi. tapi disini saya melihat panorama religus yang lain. Apa yang ditakutkan Kuntowijoyo dalam karyanya—muslim tanpa mesjid—tak nampak di mesjid kampus itu, baik ramadhan ataupun tidak (terlebih ramadhan, jamaahnya kadang tidak mampu ditampung mesjid kampus).
***
Mesjid kampus ini memang unik. Berbeda dengan mesjid kampus saat saya kuliah S1 dulu. Disana hanya nampak perempuan-perempuan yang berjilbab besar dan pria muda memakai hisbal. Jarang saya mendapatkan perempuan dengan celana ketat masuk dalam mesjid kampus itu. tapi mesjid dikampus UGM ini, ada yang lain. Mungkin saja nyaman, asri, atau entahlah. tapi itulah yang ada. Perempuan cantik, yang berjilbab besar, jilbab ketat, dan tidak berjilbab selalu menampakkan wajah-wajah berseri memasuki mesjid kampus ini.
Jamaah pun lebih banyak menjelang ramadhan hari kedua itu, Tak berlangsung lama, ketika adzan berkumandang. Perempuan cantik, menyemut di selasar mesjid kampus. Tak lama kemudian pria-pria dengan tergesa-gesa merapatkan saf, masbukh saya pikir.
Memang, pengalaman religius berbeda-beda tiap orang. Beragam yang bisa dinampakkan dalam bingkai ‘religi’. Pengalaman religius tidak semata-mata pada pengaalaman keagamaan tapi bercampur pada sesuatu yang diluar diri ‘agama’. Liyan. Sesuatu yang lain. Pengalaman religius ini pun bagi saya yang awam ini berbeda ditiap tempat, di Jazirah Arab, Indonesia, Eropa dan lain-lain tidak sama walau dalam satu bingkai keagamaan semisal ‘islam’. Nampak nyata berbeda Geertz melihat perbedaan Islam di Indonesia dengan Islam Maroko. Disini, geografi menentukan pengalaman religius.
Ritus keagamaan dicampurkan dengan budaya. Saya pun ingat Sindhunata, bahwa pengalaman religius bisa bercampur apa saja. Bersifat profan. Bahkan dihubungkan dengan keuntungan ekonomis. Alangkah ironinya pengalaman religius ini.
Saya tidak mau larut dalam defenisi religiositas seperti ini. Sayapun melakukan yang menurut saya baik. Bersyukur jika sesuai yang dituntunkan Quran dan Sunah. Tapi jika tidak, Allah maha pengasih dan penyayang. Tidak ada dosa bagi yang lupa atau tidak tahu.
Pengalaman di mesjid kampus ini memang menggetarkan dan menarik skaligus menghipnotis untuk tinggal berlama-lama. Ada orang yang menghabiskan waktu, jam demi jam dalam mesjid. Seperti yang nampak dalam mesjid Gede Yogyakarta, atau mesjid Sunan Ampel Surabaya. Orang dengan takzim menyendiri. Mencoba berdiam sambil merasa dekat dengan Allah. Saya juga merasakan jika dalam mesjid, dimanapun itu. saya merasakan damai. Seperti dalam ruang penyejuk padahal tanpa pendingin ruangan. Saya merasakan damai dalam mesjid. Menyenangkan hati.
Ustad Muhamammad Arifin pernah berpesan agar muslimin senantiasa menganggap setiap tempat itu mesjid. Yang mendamaikan dan menyejukkan. Mesjid memang adalah rumah tuhan, rumah yang selalu menawarkan kesejukan dan kedamian. Mesjid menjadi tempat bertafakkur, bermunajat dan melepas lelah dari pengaruh duniawi. Mesjid menawarkan rasa damai itu. paling tidak terlihat di mesjid kampus UGM itu. dalam ruang seperti ini, dalam ramadhan ini. Mesjid menjadi rumah besar.
gambar : Egypt, A View Of The Biggest Mosque In Cairo chhachhar.blogspot.com
Yogyakarta 010811
No comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung di halaman saya.