Jam sudah menunjuk 17.30 WITA saat saya tiba di sebuah kampung. Tandus dan kering. Tampak rumah-rumah panggung berjejer rapi, terlihat sudah mulai menua. lenguh kerbau dan suara bendi (dokar)--hentakan kaki kuda yang memakai gerincing--menimbulkan suara ritmik, seperti penari India yang memainkan kakinya.
Tak jauh dari jalan aspal, di sawah yang kering itu, sekelompok bocah bermain bola. Walau waktu sudah beringsut menemui malam, tapi tak ada tanda-tanda mereka berhenti bermain. Suasana yang dulu pernah saya lakukan saat kecil dulu. Bermain bola sampai lupa waktu.
Di atas bukit, suara bedug magrib keluar dari Surau kecil. Adzan dikumandangkan. Saya hampir tiba ditujuan. Di rumah Bonda (tante).
Ada yang belum hilang dari ingatan saya, orang kampung masih seperti itu. tak banyak berubah. Masih hidup dalam garis-garis kemiskinan. Walaupun saya harus hati-hati mendefenisikan kata miskin itu untuk masyarakat itu (orang kampung kadang tidak mau disebut miskin).
Disini, pemuda kampung banyak tingkah. Kultur dan pendidikan mungkin berpengaruh. Saban hari mereka hanya minum ballo’ (sejenis tuak). Saya pun disuruh mencicipi, saya tak bisa. Tak biasa. Dengan halus saya pun menolak. Caranya? mengeluarkan beberapa ribu rupiah sebagai bentuk penolakan dengan halus (bisa disebut saweran atau jatah preman). Saya pun undur pamit. Bukan tidak mungkin, habis minum arak, mereka akan cari perkara.
Lucu juga mereka preman kampung itu. Bersama tuak dan bebek panggang dipadu lagu kenangan. sebuah perpaduan sempurna. malam itu serasa milik mereka.
Di kampung tandus ini, orientasi lebih pada hura-hura. Anak muda tidak mau lagi bekerja di sawah, sedangkan orang tua mereka sibuk membajak sawah atau berkebun atau menjadi buruh. Anehnya, mereka tidak punya orientasi masa depan. Saya pikir mereka terbuai dengan suasana tiap hari dengan minuman keras itu.
Tak jauh dari jalan aspal, di sawah yang kering itu, sekelompok bocah bermain bola. Walau waktu sudah beringsut menemui malam, tapi tak ada tanda-tanda mereka berhenti bermain. Suasana yang dulu pernah saya lakukan saat kecil dulu. Bermain bola sampai lupa waktu.
Di atas bukit, suara bedug magrib keluar dari Surau kecil. Adzan dikumandangkan. Saya hampir tiba ditujuan. Di rumah Bonda (tante).
Ada yang belum hilang dari ingatan saya, orang kampung masih seperti itu. tak banyak berubah. Masih hidup dalam garis-garis kemiskinan. Walaupun saya harus hati-hati mendefenisikan kata miskin itu untuk masyarakat itu (orang kampung kadang tidak mau disebut miskin).
Disini, pemuda kampung banyak tingkah. Kultur dan pendidikan mungkin berpengaruh. Saban hari mereka hanya minum ballo’ (sejenis tuak). Saya pun disuruh mencicipi, saya tak bisa. Tak biasa. Dengan halus saya pun menolak. Caranya? mengeluarkan beberapa ribu rupiah sebagai bentuk penolakan dengan halus (bisa disebut saweran atau jatah preman). Saya pun undur pamit. Bukan tidak mungkin, habis minum arak, mereka akan cari perkara.
***
Malam makin tua. Suara anak-anak muda kampung terdengar lirih tersapu angin. Lagu Broery Pesolima pun di dendangkan. Angin Malam judul lagunya. Saya tahu lagu itu, lagu kenangan yang selalu dinyanyikan di rumah bernyanyi atau tiap acara hajatan. Lucu juga, mereka pemabuk tapi menyanyikan lagu kenangan. Kontras sekali saya pikir. kelakuan boleh rocker tapi hati tetap Broery. Heheheh...Lucu juga mereka preman kampung itu. Bersama tuak dan bebek panggang dipadu lagu kenangan. sebuah perpaduan sempurna. malam itu serasa milik mereka.
Di kampung tandus ini, orientasi lebih pada hura-hura. Anak muda tidak mau lagi bekerja di sawah, sedangkan orang tua mereka sibuk membajak sawah atau berkebun atau menjadi buruh. Anehnya, mereka tidak punya orientasi masa depan. Saya pikir mereka terbuai dengan suasana tiap hari dengan minuman keras itu.
***
Saya lelah melanjutkan note. besok-besok cerita dari tanah tandus ini terangkum lagi. memposting kisah dan foto-foto terbaru.Saya mulai merindukan Ungu, 200911
No comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung di halaman saya.