Petir menyambar-nyambar langit, hujan pelan-pelan turun ketika perempuan tua itu mengalunkan lagu dengan cara acapela-bermodal mulut dan tepukan tangan sebagai ‘musik pengiring’. Perempuan paruh baya, memakai jilbab lusuh dan pakaian kumal berdiri diantara tamu warung yang larut dalam santap malamnya, disisinya berdiri bocah berjilbab ungu yang penuh dengan noda. Bocah itu sekitar berumur tujuh tahun.
perempuan tua bernyanyi dengan gaya acapela, suaranya fals. Lagunya tidak istimewa seperti pengamen jogja pada umumnya—gitar, jimbe, tam, ditambah suara khas—ia hanya mengandalkan organ tubuhnya untuk menghasilkan bunyi *kita bisa bayangkan, bernanyi sambil menepuk tangan*. Lagunya pun tak bagus-bagus amat, lagu anak-anak tahun 90-an pula, saya pikir ia tak memiliki banyak referensi musik seperti Krisdayanti, Syahrini apalagi Ayu Ting Ting. Perempuan tua itu tidak memiliki bakat menyanyi saya kira. Kita tahu, selain bakat, menyanyi itu karena pejabat atau karena nekat. Saya pikir perempuan tua itu ada dibagian terakhir; nekat. Persoalan hidup/makan adalah faktor kenekatan untuk bernyayi dikeramaian. Perempuan tua itu punya semangat. Mengamen seperti ini tidak mempersoalkan lagi performance, nada, hapalan partitur bahkan malu. ia bernyanyi untuk mencipta harmoni dalam defenisinya, ia bernyanyi untuk usaha bertahan dari himpitan hidup. asal asap di dapur bisa kembali mengepul. mudah saja.
Perempuan itu terberkati berada diantara orang-orang dari indonesia timur—orang papua, sulawesi, timor, ternate—berkah dengan memanen banyak recehan. Anak kecil yang bersama dengan perempuan tua itu dengan sigap mengadahkan kaleng derma pada tamu yang sedang bersangtap malam. Seribu, duaribu telah terisi. Perempuan tua itu tidak lupa berucap “matur nuwun mas”, ucapan khas atas berkat nikmat yang sudi merogoh kocek.
saya yakin para tamu itu adalah mahasiswa kelas menengah atas. Maka tak ada uang koin keluar dari kantongnya. Biasanya makan ditempat seperti ini memang harus selalu siap banyak uang koin mengingat pengamen bergonti-ganti menawarkan jasa. (belum lagi banci yang terlihat lucu saat bernyanyi).
***
Hujan mulai reda, cahaya terpendar-pendar menampar aspal yang basah oleh hujan. Perempuan tua itu berlalu bersama rintik hujan. Ditemani bocah kecil yang masih lugu itu.
Bagi saya, ia memiliki alat produksi, halnya ungkapan Goenawan Mohamad, ia memiliki alat produksi pada tubuhnya; mulut, tangan dan kaki untuk menghibur.
Malam-malam selanjutnya ia mungkin tak lagi seberuntung malam ini. Yang bisa memanen ribuan derma dari tamu. Kenapa? Ia kalah dari pengamen lain yang memiliki harmonika, gitar dan suara yang khas. Kalo perempuan itu? tidak ada. ia terberkati dengan rezeki karena para tamu itu iba. Tamu-tamu yang baik hati itu saya kira iba melihat perempuan paruh baya bersama bocah lugu berharap derma. Ia terbantu dengan sebuah kerja keras yaitu bernyanyi dengan suara fals dengan tepukan tangannya. Tidak mengemis.
Dan bagaimana kita melihat ini? Bagaimana memandang perempuat tua itu yang rela menghabiskan waktu saban hari untuk mengais hidup?. walau disaksikan bocah lugu. ia tak ingin anak itu hidup seperti yang dialami, paling tidak mengulang kisah perempuan tua itu. menghilangkan malu dan bernyanyi dengan suara fals ditengah tamu warung. ya, perempuan tua itu pasti tidak inginkan itu.
Kisah ini adalah keseharian hidup orang kota atau kehidupan sehari-hari kita. Bercampur duka dan nestapa. Ditengah kehidupan yang memerlukan perjuangan untuk bertahan hidup. survival of the fittest dalam terminologi Charles Darwin. Orang yang kuatlah yang akan bertahan hidup. perempuan tua itu harus kuat melawan derita dan kerasnya hidup. saya pun menerawang jauh, suaminya yang diharapkan untuk membantu mencari nafkah kemana? Entah.
Perempuan tua itu tentu tahu dengan takdir, gusti ora sare. Tuhan tidak tidur. Dalam keterbatasan ia tak lupa untuk mengingat-Nya. Filosofi jawa masih melekat sebagian besar di tempat ini juga perempuan tua itu. Ia tidak sendiri mengingatNya. Banyak yang senasib dengan dia. Tidak sendiri. Ia memang tak boleh pasrah pada hidup. apalagi kalah. Karena setiap hidup memiliki nada. sama dengan lagu yang dilantunkannya.
Kaliurang, di kilometer v 131111. Saat itu hujan rintik-rintik
Mungkin bisa dibilang Tema postingan bang patta kali ini tentang kepedulian, hal kecil yang bisa menjadi inspirasi untuk menghasilkan tulisan yang kerenlah kata saya. Khususnya untuk saya, yang notabenenya tidak pernah perduli dg keberadaan pengamen jalan.
ReplyDeleteOh iya, itu ibu-ibu yg ngamen? Langka! Saya belum pernah liat sebelumnya.
paling bagusnya dibilang saya sok peduli.ehehehe...
ReplyDeleteiya ya, dimakassar tidak ada, tapi kota2 lainnya sudah bertebaran. yang lucu jika banci (saya tidak memiliki kosa kt halus lagi untuk menyebut yg satu ini), mereka bernyanyi dengan kerincing sambil menggoda...:)
gimana perjalanannya di belitung mbak? ada senior yang panggil di universitas babel...melihat foto2 mbak syam, wah jadi tertarik ke babel...
Banci malah sopan kak, dr pada Bencong? #ups :)
ReplyDeleteSepanjang saya melakukan perjalanan/trip yang ke Belitunglah yang paling mengesankan. kalau urusan panorama, Bali lewatlah yah *IMO hanya saja seperti yg sy ceritakan dipostingan saya org2 di Belitung/penduduk asli masih sibuk dg urusan masing2. Mereka belum melek "pariwisata"
Btw, Babel a.k.a Bangka Belitung... kmarin itu saya ngetripnya hanya di Belitung loh Kak pulau kecil yg berada di timur selatan Pulau Bangka. sy malah belum pernah ke Bangka, katanya temanku yg sudah ke Bangka, di Bangka panoramanya tidak seindah di Belitung. Dan sudah lebih ramai dari Belitung.
Belitung itu "silent island" menurutku yg kalau malam langitnya kebanjiran bintang... tapi satu hal yang kental terasa selama 4hari saya berada disana adalah, kesederhanaannya.
kereeeeeeeeennnnnlaaaahhhhhh.... :)
kayaknya seperti itu...tapi penasaran masih saja ada.
ReplyDeletepulau bintang dan the silent island memang tepat disematkan...jauh dari hiruk pikuk. tapi menyimpan banyak potensi...
saya angkat topi dengan foto2 dipadu narasi apik. saya menunggu postingan berikutnya dan tentu foto2 yang ciamik...
hahahaa... siap siap ^^v
ReplyDeletesaya belum pernah nemu pengamen seorang ibu2 tua apalagi nenek2. biasanya cowok aja pengamen itu. tapi sekarang kan jaman emansipasi, cewek udah bisa semuanya. naif memang ketika rakyatnya bersusah payah mencari makan, pemerintah politisi yg berkuasa di atas foya2 bergelimangan harta dan korup
ReplyDeletekalo bang rusydi ke jogja, insya Allah akan nemu perempua yang ngamen,dan juga banci tak sulit menemukan mereka di angkringan,sari laut dan lapak-lapak.
ReplyDeleteini kisah keseharian sebagian yang hidup di masyarakat kita. tapi saya yakin semangat dan moral sebagian politisi (yang berfoya2) berbeda dengan semangat akar rumput, makanya mereka tak iba melihat penderitaan kaum papa...
salam kenal dan trimakasih tlah singgah di lapak saya mas