Siang itu saya menemukan buku dari pejuang perempuan R.A. Kartini. Buku itu tampak lusuh dan mulai lapuk dimakan rayap dan tempias hujan. Orang rumah tidak memperhatikan, boleh jadi tidak memperdulikan bahwa buku itu adalah buku sejarah atau mungkin juga mereka tak suka sejarah atau dunia literasi, jadinya buku tersebut dibiarkan tergeletak begitu saja. Dan menunggu menyatu dengan tanah.
Saya dengan kecepatan seperti aksi Kensin Himura dalam lakon Samurai X sigap mengamankan magnum opus dari salah satu pejuang emansipasi itu. Saya mengeringkan buku itu, membuka dengan hati-hati lembar demi lembar sampai kering.
Setelah itu saya kembali ke bagian pembuka. Di sampul depan tertulis R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang” saya menyingkatnya “HGTT” yang dialihbahasakan oleh Armijn Pane. Buku itu terbit tahun 1985 oleh Balai Pustaka (BP) dua tahun setelah kelahiran saya. Buku ditangan saya itu sudah dicetak yang kesebelas kalinya. Sangat laris dan sekarang saya tidak menemukan terbitan terbaru lagi.
Buku yang masih menggunakan diksi lama itu merangkum catatan/surat Kartini yang kata-katanya menurut Goenawan Mohamad merupakan catatan harapan dan kepedihan perempuan Indonesa yang melawan dan terjepit.
Kartini merasakan bagaimana dunianya yang didominasi oleh tradisi patriarki membuatnya terus mencari arti tentang “kesetaraan”. Kartini bolehlah menjadi perempuan yang cerdas dimasanya. Bukan karena dia kelas ningrat tetapi kemampuan wawasannya mempertanyakan realitas yang dirasakannya di waktu itu.
**
Kartini mulai menulis ketika berumur 21 tahun dengan didikan dari keluarga-keluarganya yang pandai menulis. Dalam bab pendahuluan di buku itu diceritakan kebiasaan menulis keluarga Kartini: Di tahun 1902 tercatat di seluruh pulau Jawa dan Madura hanya empat orang Bupati yang pandai menulis dan bercakap dalam bahasa Belanda. Bupati Serang P.A.A Achmad Djajadiningrat, Bupati Ngawi R.M. Adipati Ario Sosrodiningrat, Bupati Demak Pangeran Hario Hadiningrat (paman Kartini) dan Bupati Jepara R.M. Adipati Ario Sosrodiningrat yang tak lain adalah bapak Kartini.
Kartini mulai menulis ketika berumur 21 tahun dengan didikan dari keluarga-keluarganya yang pandai menulis. Dalam bab pendahuluan di buku itu diceritakan kebiasaan menulis keluarga Kartini: Di tahun 1902 tercatat di seluruh pulau Jawa dan Madura hanya empat orang Bupati yang pandai menulis dan bercakap dalam bahasa Belanda. Bupati Serang P.A.A Achmad Djajadiningrat, Bupati Ngawi R.M. Adipati Ario Sosrodiningrat, Bupati Demak Pangeran Hario Hadiningrat (paman Kartini) dan Bupati Jepara R.M. Adipati Ario Sosrodiningrat yang tak lain adalah bapak Kartini.
Antusiasme khayalan seperti kata Soren Kinkegaar membuat Kartini menuliskan dalam bentuk tulisan dari sebuah cita-cita dan ‘khayalan’ seperti kekagumannya tentang ‘dunia baru’ yang dibawa para kolonial: fotografi dan kereta api.
Rudolf Mrazek sejarawan yang menulis Engineer of Happy Land: Perkembangan teknologi dan nasionalisme di sebuah koloni menuliskan korespondensi Kartini pada anggota dan pakar sosialis Eropa menulis “Rasanya seolah-olah ada kabel telepon tak terlihat antara sini dengan Lali Djiwa dan kembali lagi.”
Kartini merasa riang dengan penemuan-penemuan abad 17 yang memudahkannya mengirimkan surat-surat kepada sahabatnya di Belanda. Dari kontak antara Barat (Belanda) dan Jawa Kartini menguraikan pikiran dan pendapatnya tentang kehidupan masyarakat Jawa dan bagaimana khayalannya tentang perubahan itu bisa diketahui dunia di luar dirinya.
Adalah masa dalam pingitan Kartini melatih sifat kritisnya untuk melihat perubahan seperti khayalan yang selalu diceritakan pada sahabatnya di Belanda. Dalam surat-suratnya yang ditulis di Jepara bertarik 25 Mei tahun 1899 kepada Nona Zeehanelaar, Kartini menulis “Empat tahun, yang tak terkira lamanya, saya berkhalwat di antara empat tembok tebal, tiada pernah sedikit juapun melihat dunia luar. Betapa saya dapat menahan kehidupan yang demikian, tiadalah saya tahu—hanya yang saya ketahui, masa itu amat sengsaranya”. (HGTT, hal.39)
Kartini tidak hanya terkungkung dalam tembok rumahnya yang bergaya bangsawan Jawa namun terkungkung oleh tradisi yang membatasi perempuan (ningrat) untuk melihat ‘dunia luar’ tapi surat-surat yang ditulisnya itu menembus ruang dan waktu.
**
Syahdan, buku yang lusuh dan sudah termakan rayap itu memuat semua tulisan/surat-surat Kartini. Saya anggap kumpulan ‘curhat sejarah’ dari seorang perempuan ningrat yang saya harus rawat (saya ingin menuliskan di blog ini tulisan surat-surat Kartini yang ada di buku itu suatu nanti).
Walau Kartini tidak merasakan angin perubahan sampai kematiannya tanggal 13 September 1904 namun semangat yang digelorakannya menembus zaman. Seperti yang ditulis Armijn Pane dalam buku itu, ramalan perubahan diimajikan terjadi setelah 30 tahun sesudah meninggal. Ramalan itu Kartini tuliskan:”…semangat zaman pembantu dan pembela saya, dimana-mana memperdengarkan gemuruh langkahnya; gedung tua kukuh dan dahsyat, tergoyang pada sendirinya ketika semangat zaman itu menghampiri—pintu yang dipalang dan dijaga kuat-kuat itu, lalu terbukalah, setengahnya seolah-olah dengan sendirinya, yang lain dengan amat susahnya, tetapi terbuka, semua mesti terbuka dan tamu yang tidak disukai itu pun masuklah! (surat kepada nona Zeehandelaar, 25 Mei 1890).
Dan antuasiasme khayalan Kartini pun menembus tembok dan zamannya.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung di halaman saya.