![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgKpDtKpIWDkM_ziwf1BIHwaL1U0BNbg68QCPg3LlunD8W_m2p8yWAaaH6gzLGEJsOLDcY_qFu9XlwhmV32nS-NrwYoh_SdOa27lfGv_yvvsX8ZhkK98yRd8TkbZDZ6lQ83c_flYY7bn7M/s400/bayitertawa.jpg)
Ditengah orang-orang yang malas tertawa, bocah peminta itu mencoba tertawa. Di perempatan lampu merah itu sambil menenteng kaleng derma. Selaksa tawa pun memecah bersama teman sebayanya seraya mata menatap awas di kerumunan kendaraan yang berlalu-lalang. Ada yang hadir ditengah realitasnya yang galau. Ironis skaligus tragis. Mencoba tertawa dalam galaunya hidup dan serba susah. Ia mungkin berfikir, hidup sudah susah jika diri ikut susah maka dunia yang datarlah yang hadir. Tak memiliki warna.
Hati siapa yang tidak bergetar menyaksikan realitas bocah peminta itu ? tidak terkecuali saya. Saya pun larut dalam dunia yang ia ciptakan. Bahagia dalam dunia yang ironis nan penuh tragedi ini. Saya mengambil pelajaran waktu itu, bahwa dengan kepapaan tidak berarti tak ada lagi tawa. Karena tertawa memberi rangsangan hormon endorfin memompa tubuh untuk bahagia. Ia menyadari, yang ia miliki adalah adalah kaleng derma dan segurat tawa menemani perjalanan panasnya siang dan dinginnya malam. Sebuah paradoks.
Kisah ini membuat saya mengingat lagi Sindhunata dengan ilmu nggelthek-nya (2004). Tertawa menyimpan banyak rahasia dalam hidup. Sindhunata memberi nafas pada kisah bocah peminta itu, ketika manusia tertawa, itulah saat dimana “surga sedang menyentuh hati”.
Saya berasumsi, hari-hari yang ia lalu bisa jadi berat, penuh beban, tak seperti anak sebayanya yang kaya, membosankan dan monoton. Namun ia memiliki perasaan untuk selalu bahagia : perasaanya untuk tertawa dan menertawakan realitas. Ia hidup dalam dunia humor yang diciptakannya. Sepertinya tertawa lagi menjadi obat murajab itu, bocah kecil itu menawarkan warna baru dengan menertawai realitasnya.
Tertawa membuat manusia menjadi bijak. Tapi kisah anak itu membawa pemahaman bahwa bijak diperoleh dari kisah-kisah empirik manusia. Perjalanan sosio-religiositaslah manusia mampu menempuh tangga kebijaksanaan.
Ditengah pelitnya orang memberi tawa atau paling tidak memberi kesempatan diri tertawa dengan orang lain. Alih-alih memberi waktu tertawa saya terkadang memberi nuansa ‘kecut’ dan bermuka masam. Tertawa tak nampak sejauh yang saya bisa. Untung bocah kecil itu tak sama dengan saya selalu menampakkan wajah masam.
Tertawa memberi tempat pada surga menyentuh lubuk hati. Kedamaian terhampar, lapang dan lepas beban. Tertawa membawa pergi stres yang membelenggu dan persoalan dunia yang tak habis diurai. Dengan tertawa saripati hidup dapat dirasa sebut Sindhunata. Kita tahu, mati adalah kata final dan pasti. Tapi tawa tak mengenal kata final dan akhir. Tawa adalah hiburan ‘gratis’ pada diri sendiri.
Akhirnya kita mengutip kembali Sindhunata - ngglethek-nya :
Kita ber-airmata, ber-nostalgia sambil tawa menghiasinya...
Yogya, 160611
Hati siapa yang tidak bergetar menyaksikan realitas bocah peminta itu ? tidak terkecuali saya. Saya pun larut dalam dunia yang ia ciptakan. Bahagia dalam dunia yang ironis nan penuh tragedi ini. Saya mengambil pelajaran waktu itu, bahwa dengan kepapaan tidak berarti tak ada lagi tawa. Karena tertawa memberi rangsangan hormon endorfin memompa tubuh untuk bahagia. Ia menyadari, yang ia miliki adalah adalah kaleng derma dan segurat tawa menemani perjalanan panasnya siang dan dinginnya malam. Sebuah paradoks.
Kisah ini membuat saya mengingat lagi Sindhunata dengan ilmu nggelthek-nya (2004). Tertawa menyimpan banyak rahasia dalam hidup. Sindhunata memberi nafas pada kisah bocah peminta itu, ketika manusia tertawa, itulah saat dimana “surga sedang menyentuh hati”.
Saya berasumsi, hari-hari yang ia lalu bisa jadi berat, penuh beban, tak seperti anak sebayanya yang kaya, membosankan dan monoton. Namun ia memiliki perasaan untuk selalu bahagia : perasaanya untuk tertawa dan menertawakan realitas. Ia hidup dalam dunia humor yang diciptakannya. Sepertinya tertawa lagi menjadi obat murajab itu, bocah kecil itu menawarkan warna baru dengan menertawai realitasnya.
Tertawa membuat manusia menjadi bijak. Tapi kisah anak itu membawa pemahaman bahwa bijak diperoleh dari kisah-kisah empirik manusia. Perjalanan sosio-religiositaslah manusia mampu menempuh tangga kebijaksanaan.
Ditengah pelitnya orang memberi tawa atau paling tidak memberi kesempatan diri tertawa dengan orang lain. Alih-alih memberi waktu tertawa saya terkadang memberi nuansa ‘kecut’ dan bermuka masam. Tertawa tak nampak sejauh yang saya bisa. Untung bocah kecil itu tak sama dengan saya selalu menampakkan wajah masam.
Tertawa memberi tempat pada surga menyentuh lubuk hati. Kedamaian terhampar, lapang dan lepas beban. Tertawa membawa pergi stres yang membelenggu dan persoalan dunia yang tak habis diurai. Dengan tertawa saripati hidup dapat dirasa sebut Sindhunata. Kita tahu, mati adalah kata final dan pasti. Tapi tawa tak mengenal kata final dan akhir. Tawa adalah hiburan ‘gratis’ pada diri sendiri.
Akhirnya kita mengutip kembali Sindhunata - ngglethek-nya :
nggelthek adalah akhir dari segalanya. tertawa, karena, eh ngglethek, apa yang kita raih, ternyata harus kita tinggalkan, karenanya kita disadarkan.bahwa mengalami kepauasan, kita justru harus rela kehilangan segala kepuasan yang kita cita-citakan. tertawa, karena, eh ngglethek, kita jutru merasa memiliki semuanya, ketika kita mengalami bahwa kita tidak mempunyai semuanya...
Kita ber-airmata, ber-nostalgia sambil tawa menghiasinya...
Yogya, 160611
Dengan tertawa kita melepaskan beban, seperti membuka aliran darah yang tersumbat, melonggarkan urat saraf,meluruskan muka dan hati yang kusut, tpi jangan sampai sering ktawa2 sndiri lho..hehehe
ReplyDeleteehehe...spakat spakat. setidaknya tertawa membawa lepas beban mengawang dan setidaknya hidup dihiasi tawa...rileksasi diri...:)
ReplyDeletesemoga tawa slalu menghias wajah kita..:)
ReplyDelete