Selalu ada cerita disetiap perjalanan. dan ini yang saya rasakan selama mengunjungi kota-tua itu, saat mata tertuju bangunan-bangunan tua bergaya eropa. Bermula dari Benteng, kantor pos, bank, dan jalan-jalan masih membekas sentuhan oriental.
Kota tua sebagai jembatan masa lalu. Memandangi lanskap bangunan yang masih nampak terawat membawa pada masa-masa silam. setidaknya mengenang.
Kota seperti yang diceritakan Walter Benjamin yang oleh Baudeleire disebut flaneuer (Kalam Edisi 2002 hal : 11). Dengan menelusuri kota, menenggelamkan dirinya kedalam kerumunan orang, menggunakan bentang kota sebagai landasan untuk menerbangkan imajinasi.
Agaknya memang demikian, kota tua menjadi sumber imajinasi dari waktu-waktu yang silam. Mencoba beromantisme, setidaknya orang yang pernah merasa perubahan kota dari waktu ke waktu. Dalam cerita flaneur menunjukkan bahwa dulu, pejalan kaki bisa menikmati jalan-jalan arkade. Pada zaman kolonial, dikatakan bahwa berjalan di sore hari hanya dengan menggunakan piyama. Tentu sekarang tidak lagi ditemukan itu. itu hanya ada dalam foto. Sebagai sumber yang tersisa yang bisa dinikmati.
Jembatan Masa Lalu
Tidak berlebihan jika kota tua adalah jembatan masa lalu. Satu hal yang selalu saya lakukan ketika ingin mengenang masa lalu, tentang masa-masa perjuangan, maka lari saya hanya satu : berkungjung ke Benteng Vredeburg, tidak jauh dari Malioboro. Diperempatan, sebelum menuju alau-alun, disisi jalan bangunan tua, dari Gereja, Kantor BI, hingga Kantor Pos peninggalan Belanda. Takjub dengan bangunan berusia ratusan tahun namun masih terjaga.
Di benteng Vrederburg disisi kiri sebelum masuk dalam ruanga diorama, nampak Sukarno dengan gambar besar menempel di dinding. Tepat di bawah, ada bel-orang tinggal memencet bel, maka suara proklamator Sukarno akan keluar melalui pengeras suara. kenangan lama yang sudah lama terkubur digali kembali. dengan sepeda onthel, topi priyayi, dan diorama serasa hidup dimasa-masa kolonial.
Namanya saja negera terjajah, bangsa ini dipenuhi dengan arsitektur bergaya eropa. Padahal di India, ada arsitek bernama Charles Correra menolak mentah-mentah bangunan bergaya eropa karena tidak sesuai dengan ciri khas orang India. Bangunan Indonesia dibuat tinggi-tinggi mengikuti model barat sampai hari ini. Padahal dulu kota-kota tua sangat jarang dibangun model-model bangunan tinggi. mungkin penjajah pelit dalam membangun bangunan-bangunan bergaya eropa dengan nilai estetika. Walaupun itu, bangunan bergaya Eropa, seperti kota tua di Jakarta, Surabaya, Semarang, Yogyakarta dan Solo masih sering ditemukan.
Bagaimanapun kota adalah sebuah ruang. Dan ruang adalah ruang menurut Marco Kusumawijaya (jurnal Kalam, 2002). Ruang bukan sekadar latar bagi obyek. Ruang menjadi kehidupan bermasyarakat di dalamnya.
Itulah ruang kota. Terlebih ruang dalam kota tua-menjadi jembatan masa lalu ke masa kini. Kota tua hidup dalam waktu yang diciptakan didalamnya. Wajah kota memang akan berubah dan berubah. Yang ada sekarang bisa saja terganti (kota tua tergusur atau tidak terawat), besok atau lusa atau nanti kota tua menjadi suatu penanda waktu yang silam.
Kota tua sebagai jembatan masa lalu. Memandangi lanskap bangunan yang masih nampak terawat membawa pada masa-masa silam. setidaknya mengenang.
Kota seperti yang diceritakan Walter Benjamin yang oleh Baudeleire disebut flaneuer (Kalam Edisi 2002 hal : 11). Dengan menelusuri kota, menenggelamkan dirinya kedalam kerumunan orang, menggunakan bentang kota sebagai landasan untuk menerbangkan imajinasi.
Agaknya memang demikian, kota tua menjadi sumber imajinasi dari waktu-waktu yang silam. Mencoba beromantisme, setidaknya orang yang pernah merasa perubahan kota dari waktu ke waktu. Dalam cerita flaneur menunjukkan bahwa dulu, pejalan kaki bisa menikmati jalan-jalan arkade. Pada zaman kolonial, dikatakan bahwa berjalan di sore hari hanya dengan menggunakan piyama. Tentu sekarang tidak lagi ditemukan itu. itu hanya ada dalam foto. Sebagai sumber yang tersisa yang bisa dinikmati.
Jembatan Masa Lalu
Tidak berlebihan jika kota tua adalah jembatan masa lalu. Satu hal yang selalu saya lakukan ketika ingin mengenang masa lalu, tentang masa-masa perjuangan, maka lari saya hanya satu : berkungjung ke Benteng Vredeburg, tidak jauh dari Malioboro. Diperempatan, sebelum menuju alau-alun, disisi jalan bangunan tua, dari Gereja, Kantor BI, hingga Kantor Pos peninggalan Belanda. Takjub dengan bangunan berusia ratusan tahun namun masih terjaga.
Di benteng Vrederburg disisi kiri sebelum masuk dalam ruanga diorama, nampak Sukarno dengan gambar besar menempel di dinding. Tepat di bawah, ada bel-orang tinggal memencet bel, maka suara proklamator Sukarno akan keluar melalui pengeras suara. kenangan lama yang sudah lama terkubur digali kembali. dengan sepeda onthel, topi priyayi, dan diorama serasa hidup dimasa-masa kolonial.
Namanya saja negera terjajah, bangsa ini dipenuhi dengan arsitektur bergaya eropa. Padahal di India, ada arsitek bernama Charles Correra menolak mentah-mentah bangunan bergaya eropa karena tidak sesuai dengan ciri khas orang India. Bangunan Indonesia dibuat tinggi-tinggi mengikuti model barat sampai hari ini. Padahal dulu kota-kota tua sangat jarang dibangun model-model bangunan tinggi. mungkin penjajah pelit dalam membangun bangunan-bangunan bergaya eropa dengan nilai estetika. Walaupun itu, bangunan bergaya Eropa, seperti kota tua di Jakarta, Surabaya, Semarang, Yogyakarta dan Solo masih sering ditemukan.
Bagaimanapun kota adalah sebuah ruang. Dan ruang adalah ruang menurut Marco Kusumawijaya (jurnal Kalam, 2002). Ruang bukan sekadar latar bagi obyek. Ruang menjadi kehidupan bermasyarakat di dalamnya.
Itulah ruang kota. Terlebih ruang dalam kota tua-menjadi jembatan masa lalu ke masa kini. Kota tua hidup dalam waktu yang diciptakan didalamnya. Wajah kota memang akan berubah dan berubah. Yang ada sekarang bisa saja terganti (kota tua tergusur atau tidak terawat), besok atau lusa atau nanti kota tua menjadi suatu penanda waktu yang silam.
Yogya 150711
No comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung di halaman saya.